Ihram merupakan rukun dalam melaksanakan ibadah haji
dan umroh, namun bagaimana jika diantara jamaah ada yang lupa berihram setelah
sampai di kota mekkah?
Sebagian jama’ah haji dari tanah air yang
biasa dari gelombang (kloter) belakangan, biasanya langsung akan menuju Mekkah
tanpa ke Madinah dahulu. Kasusnya juga bisa terjadi pada sebagian jama’ah umrah
yang langsung menuju Mekkah. Masalahnya, ada yang ditemukan berihram dari
Jeddah. Padahal jika kita datang dari Indonesia, maka bisa jadi kita akan
melewati Miqot Qornul Manazil, Dzat ‘Irqin atau Yalamlam. Maka seharusnya
ketika ingin melewati miqot tersebut dalam keadaan ihram. Namun demikianlah
karena tidak memahami masalah ini, sebagian keliru dan berihram baru dari
Jeddah.
Barang siapa
yang bertempat tinggal di sekitar miqat dan Makkah, maka dia memulai ihram dari
tempatnya, demikian juga bagi siapa saja yang mendatangi Jeddah atau daerah
lainnya di sekitar miqat, kemudian ada niat untuk berumrah, maka dia memulai
ihramnya dari tempatnya.
Dari Ibnu
Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- berkata:
“Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memberikan batasan miqat bagi penduduk
Madinah adalah di Dzil Hulaifah, dan bagi penduduk Syam di Jahfah, dan bagi
penduduk Najed di Qarn Manazil, dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam, semua
miqat tersebut adalah bagi mereka atau bagi mereka yang mendatanginya dari
daerah lain dan ingin menunaikan haji dan umrah, dan barang siapa yang tinggal
setelah miqat maka memulainya dari keluarganya”. (HR. Bukhori: 1454 dan Muslim:
1181)
Ulama Lajnah
Daimah berkata:
“Diwajibkan
bagi siapa saja yang berniat untuk umrah kemudian melewati miqat, maka
hendaknya memulai ihramnya dari miqat tersebut, dia tidak boleh melewatinya
tanpa berihram, dan jika kalian tidak berihram dari miqat maka masing-masing
harus membayar dam, yaitu; menyembelih kambing -dengan kreteria sama dengan
kambing kurban- di Makkah al Mukarramah kemudian dibagikan kepada orang-orang
fakir di sana, dan anda semua tidak boleh memakannya sedikitpun. Sedangkan
meninggalkan shalat dua raka’at setelah memakai pakaian ihram maka hal itu
tidak masalah”.
(Syeikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syeikh Abdur Razzaq ‘Afifi, dan Syeikh
Abdullah bin Ghadyan)
(Fatawa
Lajnah Daimah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta’: 11/176-177)
Syeikh Ibn
Utsaimin –rahimahullah- berkata setelah merinci permasalahan seputar masalah
meninggalkan kewajiban dalam haji dan umrah:
“Pada saat
demikian kami berkata bagi siapa saja yang meninggalkan kewajiban: “Sembelihlah
fidyah di Makkah dan bagikanlah sendiri kepada orang-orang fakir atau bisa
diwakilkan kepada seseorang yang dapat anda percaya, jika anda tidak mampu
melakukannya sendiri, maka taubat anda sudah sah tanpa berpuasa, inilah
pendapat kami dalam masalah ini”. (Asy Syarhul Mumti’: 7/441)
Kesimpulan yang dapat diambil dari hadis rasulullah dan fatwa para ulama
ialah, jika diantara kita lupa berihram miqot maka itu tidak membatalkan haji atau
pun umroh kita. karena berdasarkan Firman Allah Ta’ala, “Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala
(dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum
kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami
apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan
rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum
yang kafir." (QS. Al-baqarah: 286)
Dalam hadits Qudsi, Allah berfirman, "Sungguh telah
saya lakukan." (HR. Muslim, no. 126)
Dari Abu Dzar Al-Gifari radhiallahu anhu, dia berkata,
Rasulullah sallallahu alahi wa sallam brsabda:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ
وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku kesalahan,
lupa dan apa yang dipaksakan kepadanya." (HR. Ibnu Majah, 2043 dishahihkan
oleh Al-Albany)