Minggu, 14 Oktober 2018

Lupa Berihram di Jeddah, Apakah Harus Mengulang?

Ihram merupakan rukun dalam melaksanakan ibadah haji dan umroh, namun bagaimana jika diantara jamaah ada yang lupa berihram setelah sampai di kota mekkah? 

Sebagian jama’ah haji dari tanah air yang biasa dari gelombang (kloter) belakangan, biasanya langsung akan menuju Mekkah tanpa ke Madinah dahulu. Kasusnya juga bisa terjadi pada sebagian jama’ah umrah yang langsung menuju Mekkah. Masalahnya, ada yang ditemukan berihram dari Jeddah. Padahal jika kita datang dari Indonesia, maka bisa jadi kita akan melewati Miqot Qornul Manazil, Dzat ‘Irqin atau Yalamlam. Maka seharusnya ketika ingin melewati miqot tersebut dalam keadaan ihram. Namun demikianlah karena tidak memahami masalah ini, sebagian keliru dan berihram baru dari Jeddah.

Barang siapa yang bertempat tinggal di sekitar miqat dan Makkah, maka dia memulai ihram dari tempatnya, demikian juga bagi siapa saja yang mendatangi Jeddah atau daerah lainnya di sekitar miqat, kemudian ada niat untuk berumrah, maka dia memulai ihramnya dari tempatnya.


Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- berkata:

“Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memberikan batasan miqat bagi penduduk Madinah adalah di Dzil Hulaifah, dan bagi penduduk Syam di Jahfah, dan bagi penduduk Najed di Qarn Manazil, dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam, semua miqat tersebut adalah bagi mereka atau bagi mereka yang mendatanginya dari daerah lain dan ingin menunaikan haji dan umrah, dan barang siapa yang tinggal setelah miqat maka memulainya dari keluarganya”. (HR. Bukhori: 1454 dan Muslim: 1181)

Ulama Lajnah Daimah berkata:

“Diwajibkan bagi siapa saja yang berniat untuk umrah kemudian melewati miqat, maka hendaknya memulai ihramnya dari miqat tersebut, dia tidak boleh melewatinya tanpa berihram, dan jika kalian tidak berihram dari miqat maka masing-masing harus membayar dam, yaitu; menyembelih kambing -dengan kreteria sama dengan kambing kurban- di Makkah al Mukarramah kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir di sana, dan anda semua tidak boleh memakannya sedikitpun. Sedangkan meninggalkan shalat dua raka’at setelah memakai pakaian ihram maka hal itu tidak masalah”.
(Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syeikh Abdur Razzaq ‘Afifi, dan Syeikh Abdullah bin Ghadyan)
(Fatawa Lajnah Daimah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta’: 11/176-177)

Syeikh Ibn Utsaimin –rahimahullah- berkata setelah merinci permasalahan seputar masalah meninggalkan kewajiban dalam haji dan umrah:
“Pada saat demikian kami berkata bagi siapa saja yang meninggalkan kewajiban: “Sembelihlah fidyah di Makkah dan bagikanlah sendiri kepada orang-orang fakir atau bisa diwakilkan kepada seseorang yang dapat anda percaya, jika anda tidak mampu melakukannya sendiri, maka taubat anda sudah sah tanpa berpuasa, inilah pendapat kami dalam masalah ini”. (Asy Syarhul Mumti’: 7/441)

Kesimpulan yang dapat diambil dari hadis rasulullah dan fatwa para ulama ialah, jika diantara kita lupa berihram miqot maka itu tidak membatalkan haji atau pun umroh kita. karena berdasarkan Firman Allah Ta’ala, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (QS. Al-baqarah: 286) 

Dalam hadits Qudsi, Allah berfirman, "Sungguh telah saya lakukan." (HR. Muslim, no. 126) 

Dari Abu Dzar Al-Gifari radhiallahu anhu, dia berkata, Rasulullah sallallahu alahi wa sallam brsabda:
 إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku kesalahan, lupa dan apa yang dipaksakan kepadanya." (HR. Ibnu Majah, 2043 dishahihkan oleh Al-Albany)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar